Pages

Wednesday, November 24, 2010

Musik = Pribadi Bangsa!

Hebohnya band-band asal luar negeri di Indonesia mungkin sudah jadi hal yang lumrah. Bukan hal baru, karena sudah terjadi bahkan bertahun-tahun sebelum kemerdekaan negeri ini. Masuknya radio  semenjak masa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, maupun televisi beberapa puluh tahun kemudian, tak bisa dipungkiri telah membuka jalan bagi industri hiburan mancanegara untuk melebarkan sayapnya: mula-mula ke pemukiman para bangsawan, lalu ke rumah-rumah rakyat menengah, hingga ke pelosok-pelosok daerah; dari kediaman para noni-noni Belanda, sampai ke tempat tinggal Lintang, si anak buruh pabrik timah di pulau Belitong sana (baca Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata). Belum lagi semenjak hadirannya internet yang kian mengaburkan batas-batas budaya. Hiburan, khususnya musik, seakan menembus batas-batas antar negara.
Tentu, tak ada yang salah dengan hal itu. Sah-sah saja kita menerima datangnya transformasi dan reformasi arus budaya dunia. Toh, itu bukan sesuatu yang bisa dibendung. Juga bukan suatu dosa yang harus begitu dihindari. Bung Karno, presiden pertama Indonesia, menghimbau bangsa kita untuk jangan takut menyerap apa-apa yang baik yang datang dari luar. Jangan jadi xenophobia. Budaya luar tak selamanya buruk. Ada banyak inovasi yang berguna untuk mengembangkan diri dan bangsa kita, ada banyak ilmu yang berkembang seiring perkembangan budaya tersebut. Namun, tak pula berarti seluruh budaya asing itu baik. Dalam menerima hal-hal yang masuk dari luar, kita pun harus bijak-bijak memilah. Tak semuanya berguna untuk diterapkan, pun tak semuanya sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Pada dasarnya adalah perihal menyesuaikan budaya dengan arus yang tengah bergerak, sambil tetap memertahankan ideologi yang menjadi pijakan bangsa.
Sayang, dalam penerapannya, hal ini tak selalu berjalan seperti yang kita gembar-gemborkan. Bangsa ini sering kecolongan. Dan dalam beberapa kesempatan, saya menertawakan bangsa ini. Suatu kali batik yang kita rasa milik kita, diakui negara tetangga. Begitu pula dengan beberapa barang yang diklaim sebagai warisan kebudayaan Indonesia. Maka bangkitlah amarah penduduk satu negeri yang menentang pengakuan sepihak tersebut. Nama si tetangga dimaki-maki, dikatai pencuri bahkan tanpa kesempatan membela diri. Di mata kita, mereka adalah kaum penyadur yang tak tahu diri.
Di sisi lain, negara ini bukannya tak pernah berbuat serupa. Sebut saja lagu-lagu berikut: "Cinta Satu Malam" (Melinda), "Mari Bercinta" (Aura Kasih), "Makhluk Tuhan Paling Seksi" (Mulan Jameela) "Dengarkan Curhatku" (Vierra). Bandingkan dengan lagu-lagu berikut: "Everytime We Touch" (Cascada), "Give It to You" (Eve ft Sean Paul), "Time is Running Out" (Muse), "Rooftops" (Lostprophets). Jika didengarkan, lagu-lagu ini sebenarnya punya banyak sekali kesamaan yang sesungguhnya, hampir tak wajar jika disebut kebetulan. Dan daftar lagu ini, hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak lagu Indonesia yang "kebetulan" mirip dengan lagu-lagu asing.
 Seakan belum cukup, kini musik Indonesia pun mulai diramaikan oleh pendatang baru yang konsep performance dan aliran musiknya menyerupai sejumlah  boyband asal Korea yang tengah digandrungi masyarakat. SM*SH, yang baru-baru ini populer dengan lagu hit-nya yang berjudul "I Heart You" adalah salah satunya. Bagi penggemar musik Korea yang terbiasa melihat penampilan boyband pujaan mereka, tidak sulit untuk mengenali kemiripan antara boyband Korea tersebut dengan SM*SH. Senasib dengannya ialah dengan girlband 5 Bidadari, yang disebut-sebut sebagai peniru girlband asal Korea, Wonder Girls. Walaupun sempat menuai kritik di beberapa situs jejaring sosial, boyband dan girlband ini tetap melengang dengan single dan konsep yang telah mempopulerkan nama mereka tersebut.
SM*SH, boyband asal Indonesia
Girlband 5 Bidadari dengan single "Aku atau Dia"

Mengapa hal seperti ini sampai terjadi? Saya yakin, bangsa ini memiliki begitu banyak otak-otak kreatif yang mampu menghasilkan konsep yang orisinil dan tak kalah menarik dibanding ciptaan seniman-seniman asing tersebut. Buktinya, tak semua karya anak bangsa adalah hasil plagiat. Namun sungguh menyedihkan bahwa mencontek sepertinya sudah jadi budaya yang tak bisa dihilangkan dari dunia hiburan Indonesia. Produser-produser musik negeri ini tampaknya lebih suka mengambil konsep yang sudah "teruji" di pasaran dibanding harus bertaruh dengan bakat-bakat baru yang belum tentu disukai masyarakat.
Ada apa dengan produk seni negeri-negeri Barat atau Asia? Adakah kita sesungguhnya kehilangan penghargaan terhadap karya seni kita sendiri? Saya pernah mendengar perkataan, "Peniruan adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap suatu karya orang lain". Mungkinkah bangsa kita memang memberikan penghargaan yang terlalu berlebih terhadap karya-karya seni asing?
Bagi saya, peniruan sama dengan pembunuhan karakter. Salah satu bukti nyata adalah sistem pendidikan di Indonesia yang amat terpaku pada jawaban textbook, di mana banyak guru cenderung lebih menghargai kepandaian murid menghapal dibanding kemampuannya berkreasi. Seseorang pernah memberi analogi ini pada saya:
Guru: Apa kegunaan dari sapu lidi?
Murid: Bikin layang-layang, Bu!
Jika perbincangan di atas konteksnya di Indonesia, saya yakin jawaban anak tersebut akan disalahakan. Bagi sang Guru, yang benar hanyalah jawaban sapu lidi digunakan untuk menyapu halaman. Padahal bisa saja sepanjang pengetahuan si anak, lidi pada sapu lidi digunakan untuk membuat layang-layang. Bagaimana ide kreatif murid-murid dengan sistem pengajaran seperti ini dapat berkembang?
Sejalan dengan itu, adalah merugikan menurut saya untuk meniru hasil karya orang lain. Menganggap milik orang lain lebih baik daripada milik sendiri memang tak salah, sepanjang hal itu tidak membuat kita minder lantas meniru hasil karyanya. Mengapa harus meniru, kalau kita punya ide dan kreasi sendiri? Oleh karena itu, dalam hal ini bisnis musik dan hiburan Indonesia, seluruh pihak bertanggung jawab untuk mengembalikan orisinalitas karya anak bangsa. Sampai kapan kita harus terus "dijajah"? Tunjukkan bahwa karya kita tak kalah dari sekedar boyband Korea!

Oleh: Khara Gracia Maulina

No comments:

Post a Comment