Pages

Wednesday, November 24, 2010

Perse7an, Warna Baru Musik Indonesia

Jatingangor Rabu (24/11), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Jatinangor jurusan Manajemen Komunikasi sore tadi menyelenggarakan sebuah acara kemanusiaan “Marionette”. Acara ini bertemakan Charity for Children Trafficking, dan bertempat di lapangan basket Fikom Unpad. Acara ini di isi oleh sebuah TalkShow mengenai Children Trafficking, acara ini juga dimeriahkan oleh penampilan kelkompok perkusi yang menamakan diri mereka sebagai Perse7an (Percussion of Seven Anarchy).

Perse7an sendiri adalah sebuah kelompok perkusi yang berasal dari Bandung dan beranggotakan 13 orang personil, Perse7an dibentuk tiga tahun yang lalu di SMAN 7 Bandung,  dalam acara ini Perse7an membawakan dua buah sajian aransemen mereka, mereka tampil sebagai pembuka dan penutup di  acara tersebut. Perse7an jelas memberikan warna baru bagi musik di Indonesia karena di Indonesia masih minim akan kelompok perkusi seperti itu, juga alat-alat musik yang digunakan sangat unik. Mereka membuat barang yang seshari-hari ada disekitar kita yang  tidak terpakai menjadi sebuah alat musik yang menghasilkan suara dan nada yang harmonis.

Mengenai acara itu, mereka memberikan apresiasi positif karena masih ada di antara kita yang peduli akan Children trafficking, menurut mereka children trafficking  terjadi karena kurangnya pembinaan dari pemerintah, akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan pemerintah seutuhnya, karena untuk memberantas children trafficking  dibutuhkan kepedulian dari segala lapisan masyarakat.

Selain Perse7an acara ini juga dimeriahkan oleh band Syubidubidapap yang beraliran mixed pop chiptunes. Mereka membawakan 4 buah lagu dengan dua single dari album yang sedang mereka rilis dan dua lagu cover Katty Perry dan Owl City. Acara ini berlangsung meriah walaupun sempat diguyur hujan. Acara berakhir sekitar pukul 16.00 waktu setempat.


Oleh: Surya Hadiansyah

Musik = Pribadi Bangsa!

Hebohnya band-band asal luar negeri di Indonesia mungkin sudah jadi hal yang lumrah. Bukan hal baru, karena sudah terjadi bahkan bertahun-tahun sebelum kemerdekaan negeri ini. Masuknya radio  semenjak masa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, maupun televisi beberapa puluh tahun kemudian, tak bisa dipungkiri telah membuka jalan bagi industri hiburan mancanegara untuk melebarkan sayapnya: mula-mula ke pemukiman para bangsawan, lalu ke rumah-rumah rakyat menengah, hingga ke pelosok-pelosok daerah; dari kediaman para noni-noni Belanda, sampai ke tempat tinggal Lintang, si anak buruh pabrik timah di pulau Belitong sana (baca Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata). Belum lagi semenjak hadirannya internet yang kian mengaburkan batas-batas budaya. Hiburan, khususnya musik, seakan menembus batas-batas antar negara.
Tentu, tak ada yang salah dengan hal itu. Sah-sah saja kita menerima datangnya transformasi dan reformasi arus budaya dunia. Toh, itu bukan sesuatu yang bisa dibendung. Juga bukan suatu dosa yang harus begitu dihindari. Bung Karno, presiden pertama Indonesia, menghimbau bangsa kita untuk jangan takut menyerap apa-apa yang baik yang datang dari luar. Jangan jadi xenophobia. Budaya luar tak selamanya buruk. Ada banyak inovasi yang berguna untuk mengembangkan diri dan bangsa kita, ada banyak ilmu yang berkembang seiring perkembangan budaya tersebut. Namun, tak pula berarti seluruh budaya asing itu baik. Dalam menerima hal-hal yang masuk dari luar, kita pun harus bijak-bijak memilah. Tak semuanya berguna untuk diterapkan, pun tak semuanya sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Pada dasarnya adalah perihal menyesuaikan budaya dengan arus yang tengah bergerak, sambil tetap memertahankan ideologi yang menjadi pijakan bangsa.
Sayang, dalam penerapannya, hal ini tak selalu berjalan seperti yang kita gembar-gemborkan. Bangsa ini sering kecolongan. Dan dalam beberapa kesempatan, saya menertawakan bangsa ini. Suatu kali batik yang kita rasa milik kita, diakui negara tetangga. Begitu pula dengan beberapa barang yang diklaim sebagai warisan kebudayaan Indonesia. Maka bangkitlah amarah penduduk satu negeri yang menentang pengakuan sepihak tersebut. Nama si tetangga dimaki-maki, dikatai pencuri bahkan tanpa kesempatan membela diri. Di mata kita, mereka adalah kaum penyadur yang tak tahu diri.
Di sisi lain, negara ini bukannya tak pernah berbuat serupa. Sebut saja lagu-lagu berikut: "Cinta Satu Malam" (Melinda), "Mari Bercinta" (Aura Kasih), "Makhluk Tuhan Paling Seksi" (Mulan Jameela) "Dengarkan Curhatku" (Vierra). Bandingkan dengan lagu-lagu berikut: "Everytime We Touch" (Cascada), "Give It to You" (Eve ft Sean Paul), "Time is Running Out" (Muse), "Rooftops" (Lostprophets). Jika didengarkan, lagu-lagu ini sebenarnya punya banyak sekali kesamaan yang sesungguhnya, hampir tak wajar jika disebut kebetulan. Dan daftar lagu ini, hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak lagu Indonesia yang "kebetulan" mirip dengan lagu-lagu asing.
 Seakan belum cukup, kini musik Indonesia pun mulai diramaikan oleh pendatang baru yang konsep performance dan aliran musiknya menyerupai sejumlah  boyband asal Korea yang tengah digandrungi masyarakat. SM*SH, yang baru-baru ini populer dengan lagu hit-nya yang berjudul "I Heart You" adalah salah satunya. Bagi penggemar musik Korea yang terbiasa melihat penampilan boyband pujaan mereka, tidak sulit untuk mengenali kemiripan antara boyband Korea tersebut dengan SM*SH. Senasib dengannya ialah dengan girlband 5 Bidadari, yang disebut-sebut sebagai peniru girlband asal Korea, Wonder Girls. Walaupun sempat menuai kritik di beberapa situs jejaring sosial, boyband dan girlband ini tetap melengang dengan single dan konsep yang telah mempopulerkan nama mereka tersebut.
SM*SH, boyband asal Indonesia
Girlband 5 Bidadari dengan single "Aku atau Dia"

Mengapa hal seperti ini sampai terjadi? Saya yakin, bangsa ini memiliki begitu banyak otak-otak kreatif yang mampu menghasilkan konsep yang orisinil dan tak kalah menarik dibanding ciptaan seniman-seniman asing tersebut. Buktinya, tak semua karya anak bangsa adalah hasil plagiat. Namun sungguh menyedihkan bahwa mencontek sepertinya sudah jadi budaya yang tak bisa dihilangkan dari dunia hiburan Indonesia. Produser-produser musik negeri ini tampaknya lebih suka mengambil konsep yang sudah "teruji" di pasaran dibanding harus bertaruh dengan bakat-bakat baru yang belum tentu disukai masyarakat.
Ada apa dengan produk seni negeri-negeri Barat atau Asia? Adakah kita sesungguhnya kehilangan penghargaan terhadap karya seni kita sendiri? Saya pernah mendengar perkataan, "Peniruan adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap suatu karya orang lain". Mungkinkah bangsa kita memang memberikan penghargaan yang terlalu berlebih terhadap karya-karya seni asing?
Bagi saya, peniruan sama dengan pembunuhan karakter. Salah satu bukti nyata adalah sistem pendidikan di Indonesia yang amat terpaku pada jawaban textbook, di mana banyak guru cenderung lebih menghargai kepandaian murid menghapal dibanding kemampuannya berkreasi. Seseorang pernah memberi analogi ini pada saya:
Guru: Apa kegunaan dari sapu lidi?
Murid: Bikin layang-layang, Bu!
Jika perbincangan di atas konteksnya di Indonesia, saya yakin jawaban anak tersebut akan disalahakan. Bagi sang Guru, yang benar hanyalah jawaban sapu lidi digunakan untuk menyapu halaman. Padahal bisa saja sepanjang pengetahuan si anak, lidi pada sapu lidi digunakan untuk membuat layang-layang. Bagaimana ide kreatif murid-murid dengan sistem pengajaran seperti ini dapat berkembang?
Sejalan dengan itu, adalah merugikan menurut saya untuk meniru hasil karya orang lain. Menganggap milik orang lain lebih baik daripada milik sendiri memang tak salah, sepanjang hal itu tidak membuat kita minder lantas meniru hasil karyanya. Mengapa harus meniru, kalau kita punya ide dan kreasi sendiri? Oleh karena itu, dalam hal ini bisnis musik dan hiburan Indonesia, seluruh pihak bertanggung jawab untuk mengembalikan orisinalitas karya anak bangsa. Sampai kapan kita harus terus "dijajah"? Tunjukkan bahwa karya kita tak kalah dari sekedar boyband Korea!

Oleh: Khara Gracia Maulina

Perkembangan Musik Indie

Perkembangan musik di Indonesia semakin berkembang pesat. Terutama band-band baru yang mencoba peruntungannya di aliran musik band indie.  Musik indie sebagai aliran atau genre musik itu “not even exist” ( tidak ada-red), karena yang disebut musik indie itu adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie. Jadi musik indie adalah istilah untuk membedakan antara musik yang dimainkan oleh musisi profesional dengan musisi amatir. Tapi yang pasti indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari apa yang kita punya, do it yourself, etika yang kita punya mulai dari merekam, mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Walaupun nantinya akan ada perbedaan lagi antara indie dengan D.I Y itu sendiri. Musik indie tumbuh secara natural di Indonesia dan tidak ada yang memungkiri kalau musik rock n’ roll di Amerika sendiri pun tumbuh secara natural walaupun pada awalnya ditentang oleh orang tua dan pemuka agama. Kalau di Indonesia sendiri adalah imbas karena kita mengidolakan band luar. Maka jika kita telusuri, hampir semua band Indonesia adalah epigon dari band-band luar. Mereka mengawali karir mereka dengan membawakan lagu-lagu dari band luar mulai dari Koes Plus, God Bless sampai band-band awal 90an masih sering membawakan lagu orang.
Sekarang disini kami akan membahas tentang perkembangan musik terutama band Indie di daerah Bekasi. Strive Record, merupakan salah satu perusahaan lokal yang berasal dari bekasi. Strive management membawahi 4 band. The Sabrinas Hardcore, Radio Bandit, Gloomy Little Angel, Marry Pumpkins. Awalnya Strive management berasal dari Strive clothing. Menurut manager dari Strive management, Ebi, menyatakan bahwa band-band indie yang mulai merambah di musik major dikarenakan komersialitas. Misalnya, Killing Me Inside yang bermula dari musik indie dan sekarng berpindah menjadi ke musik major. Berbeda dengan Superman Is Dead yang tetap mempertahankan kualitas musiknya, tetap pada ber genre rock.
The Sabrinas Hardcore, salah satu band indie yang berasal dari Bandung. Terbentuknya band The Sabrinas ini berawal dari keinginan Reza (guitar) dan Mike (drum) untuk membentuk sebuah band beg-genre metal. Dengan formasi awal Teguh (vocal), Reza (guitar), Arief (guitar), Roland (bass), dan Mike (drum) padapertengahan tahun 2008. Karena alasan kesibukan di bidang akademik, Arief dan Roland memutuskan untuk mengundurkan diri dari The Sabrinas.
Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat The Sabrinas untuk maju, sehingga diputuskan untuk mencari penggantinya. Kemudian Adra (Alexander of Macedonia) memutuskan untuk bergabung di band ini dan mengisi kekosongan di posisi bass, serta ridwan yang mengisi di posisi guitar. Dan akhirnya terbentuklah formasi tetap The Sabrinas yang solid hingga saat ini dan memutuskan untuk merubah konsep music kami menjadi "Newschool Hardcore".

 
Dalam urusan bermusik The Sabrinas banyak dipengaruhi oleh band-band Hardcore luar negeri seperti Hatebreed, Terror, Madball, Municipal Waste, Suicidal Tendencies, Sicl of It All, Have Heart, ISHC, Walls Of Jericho, Agnostic Front maupun band-band local seperti Outright, Under 18, Final Attack, Straight Answer, dan legenda-legenda musik yang dihormati. Saat ini The Sabrinas baru mengeluarkan satu single yang berjudul "We Still Fight".

 
Dalam hal penulisan lirik, The Sabrinas banyak terpengaruh oleh isu-isu politik, kemanusiaan, dan kehidupan social sehari-hari. The Sabrinas merasa tertantang untuk menyuarakan suara dan aspirasi rakyat yang terkucilkan oleh pemerintah dan birokrat-birokrat kotor yang menindas hak-hak dan keadilan masyarakat kecil dan lemah dalam musiknya.

Oleh : Intan Pravinta Andyani

Karinding, Musik Tradisional yang Terlupakan


          Salah satu alat musik tradisional khas tanah Parahyangan yang mulai terlupakan yaitu Karinding. Padahal alat musik ini cukup mudah dibuat, bahannya pun mudah didapatkan, yaitu dari pelepah kawung atau bambu.
Alat musik Karinding

          Karinding memiliki tiga bagian yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut cecet ucing, lalu pembatas jarum, dan bagian ujung yang disebut panenggeul atau pemukul.

          Untuk memainkan karinding juga cukup mudah, cukup ditempelkan ke mulut dan dipukul salah satu ujungnya menggunakan satu jari tangan.

          Mulut yang berperan sebagai tabung resonansi dan lidah yang berperan sebagai pengatur bunyi membuat banyak variasi suara yang dihasilkan alat musik ini.

         Salah satu seniman Bandung yang juga pemain karinding, Hendra mengatakan, karinding cocok digunakan dalam instrumen musik jazz karena alat ini menghasilkan bunyi yang bervariatif. “Sayang, karinding mulai dilupakan,” ucap Hendra. 

sumber: Hendra (08172332756)

Oleh: Destyananda Helen

Teeners Music Festival SMA 10 Padang, Kebanggaan yang Kembali Hadir

Padang--Teeners Music Festival VI yang menjadi icon kebanggaan SMA Negeri 10 Padang, Sumatera Barat kembali menghebohkan Padang dan Sumatera Barat pada Minggu (21/11) setelah acara ini sempat dibatalkan dan ditiadakan untuk satu periode karena gempa yang melanda kota yang terletak di pinggir pantai tersebut. Acara tahunan ini diadakan di Gor Haji Agus Salim Padang, dengan peserta perwakilan SMA-SMA di Sumatera Barat. Kali ini tema yang diangkat adalah Rock Your Heat for Indonesia.


Acara ini merupakan program kerja Organisasi Siswa Intra Sekolah SMA Negeri 10 Padang yang sudah menjadi tradisi dan sangat susah untuk dihilangkan. Kali ini yang memiliki program kerja sekaligus yang menjadi ketua panitianya adalah Rimby Soesilio yang menjabat sebagai Koordinator Sekbid 8 yaitu Bidang Apresiasi Seni dan Budaya. Dalam kepengurusan OSIS Rimby Soesilo dibawahi oleh Fefri Zahilatul yang berperan sebagai ketua OSIS.


                                                                         Foto : Dokumentasi Teeners



Festival Band tersebut mengeluarkan 3 juara atau band terbaik penilaian juri dan satu band favorit pilihan penonton dengan cara polling sms. Juara satu diraih oleh Claviora, grup band kebanggaan SMA negeri 3 Padang, juara dua diraih oleh Romusha yang berasal dari SMK 7 Padang, dan juara tiga diraih oleh SMA 1 Padang Panjang dengan grup band Paparazzi. SMA Negeri 10 yang menjadi tuan rumah harus puas dengan hanya meraih title band terfavorit dari band Ahimsa sekaligus vokalis terbaik yang juga berasal dari band tersebut, Abdi Fachruri.

Menurut Fefri sang ketua OSIS periode 2009-2010, acara yang berlangsung dari pukul 08.00 WIB hingga 21.30 WIB ini tergolong sukses dengan kedatangan penonton sekitar 1000 orang. Meski tak sempat dihadiri oleh sang kepala sekolah, Fefri tetap bangga dengan kesuksesan acaranya. “Pak Kepsek ga datang, sehingga ia tidak memberikan apresiasi pada kami, hanya saja bu Yensi Moritha sebagai Wakil Kepsek yang memberi apresiasi sebuah kepuasan kepada kami,”ujarnya. Acara tersebut juga dihebohkan dengan penampilan band-band ternama Sumatera Barat seperti 5Blitz dan Ghostbusters.

Oleh: Afif Permana Aztamurri