Pages

Wednesday, November 24, 2010

Perse7an, Warna Baru Musik Indonesia

Jatingangor Rabu (24/11), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Jatinangor jurusan Manajemen Komunikasi sore tadi menyelenggarakan sebuah acara kemanusiaan “Marionette”. Acara ini bertemakan Charity for Children Trafficking, dan bertempat di lapangan basket Fikom Unpad. Acara ini di isi oleh sebuah TalkShow mengenai Children Trafficking, acara ini juga dimeriahkan oleh penampilan kelkompok perkusi yang menamakan diri mereka sebagai Perse7an (Percussion of Seven Anarchy).

Perse7an sendiri adalah sebuah kelompok perkusi yang berasal dari Bandung dan beranggotakan 13 orang personil, Perse7an dibentuk tiga tahun yang lalu di SMAN 7 Bandung,  dalam acara ini Perse7an membawakan dua buah sajian aransemen mereka, mereka tampil sebagai pembuka dan penutup di  acara tersebut. Perse7an jelas memberikan warna baru bagi musik di Indonesia karena di Indonesia masih minim akan kelompok perkusi seperti itu, juga alat-alat musik yang digunakan sangat unik. Mereka membuat barang yang seshari-hari ada disekitar kita yang  tidak terpakai menjadi sebuah alat musik yang menghasilkan suara dan nada yang harmonis.

Mengenai acara itu, mereka memberikan apresiasi positif karena masih ada di antara kita yang peduli akan Children trafficking, menurut mereka children trafficking  terjadi karena kurangnya pembinaan dari pemerintah, akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan pemerintah seutuhnya, karena untuk memberantas children trafficking  dibutuhkan kepedulian dari segala lapisan masyarakat.

Selain Perse7an acara ini juga dimeriahkan oleh band Syubidubidapap yang beraliran mixed pop chiptunes. Mereka membawakan 4 buah lagu dengan dua single dari album yang sedang mereka rilis dan dua lagu cover Katty Perry dan Owl City. Acara ini berlangsung meriah walaupun sempat diguyur hujan. Acara berakhir sekitar pukul 16.00 waktu setempat.


Oleh: Surya Hadiansyah

Musik = Pribadi Bangsa!

Hebohnya band-band asal luar negeri di Indonesia mungkin sudah jadi hal yang lumrah. Bukan hal baru, karena sudah terjadi bahkan bertahun-tahun sebelum kemerdekaan negeri ini. Masuknya radio  semenjak masa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, maupun televisi beberapa puluh tahun kemudian, tak bisa dipungkiri telah membuka jalan bagi industri hiburan mancanegara untuk melebarkan sayapnya: mula-mula ke pemukiman para bangsawan, lalu ke rumah-rumah rakyat menengah, hingga ke pelosok-pelosok daerah; dari kediaman para noni-noni Belanda, sampai ke tempat tinggal Lintang, si anak buruh pabrik timah di pulau Belitong sana (baca Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata). Belum lagi semenjak hadirannya internet yang kian mengaburkan batas-batas budaya. Hiburan, khususnya musik, seakan menembus batas-batas antar negara.
Tentu, tak ada yang salah dengan hal itu. Sah-sah saja kita menerima datangnya transformasi dan reformasi arus budaya dunia. Toh, itu bukan sesuatu yang bisa dibendung. Juga bukan suatu dosa yang harus begitu dihindari. Bung Karno, presiden pertama Indonesia, menghimbau bangsa kita untuk jangan takut menyerap apa-apa yang baik yang datang dari luar. Jangan jadi xenophobia. Budaya luar tak selamanya buruk. Ada banyak inovasi yang berguna untuk mengembangkan diri dan bangsa kita, ada banyak ilmu yang berkembang seiring perkembangan budaya tersebut. Namun, tak pula berarti seluruh budaya asing itu baik. Dalam menerima hal-hal yang masuk dari luar, kita pun harus bijak-bijak memilah. Tak semuanya berguna untuk diterapkan, pun tak semuanya sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Pada dasarnya adalah perihal menyesuaikan budaya dengan arus yang tengah bergerak, sambil tetap memertahankan ideologi yang menjadi pijakan bangsa.
Sayang, dalam penerapannya, hal ini tak selalu berjalan seperti yang kita gembar-gemborkan. Bangsa ini sering kecolongan. Dan dalam beberapa kesempatan, saya menertawakan bangsa ini. Suatu kali batik yang kita rasa milik kita, diakui negara tetangga. Begitu pula dengan beberapa barang yang diklaim sebagai warisan kebudayaan Indonesia. Maka bangkitlah amarah penduduk satu negeri yang menentang pengakuan sepihak tersebut. Nama si tetangga dimaki-maki, dikatai pencuri bahkan tanpa kesempatan membela diri. Di mata kita, mereka adalah kaum penyadur yang tak tahu diri.
Di sisi lain, negara ini bukannya tak pernah berbuat serupa. Sebut saja lagu-lagu berikut: "Cinta Satu Malam" (Melinda), "Mari Bercinta" (Aura Kasih), "Makhluk Tuhan Paling Seksi" (Mulan Jameela) "Dengarkan Curhatku" (Vierra). Bandingkan dengan lagu-lagu berikut: "Everytime We Touch" (Cascada), "Give It to You" (Eve ft Sean Paul), "Time is Running Out" (Muse), "Rooftops" (Lostprophets). Jika didengarkan, lagu-lagu ini sebenarnya punya banyak sekali kesamaan yang sesungguhnya, hampir tak wajar jika disebut kebetulan. Dan daftar lagu ini, hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak lagu Indonesia yang "kebetulan" mirip dengan lagu-lagu asing.
 Seakan belum cukup, kini musik Indonesia pun mulai diramaikan oleh pendatang baru yang konsep performance dan aliran musiknya menyerupai sejumlah  boyband asal Korea yang tengah digandrungi masyarakat. SM*SH, yang baru-baru ini populer dengan lagu hit-nya yang berjudul "I Heart You" adalah salah satunya. Bagi penggemar musik Korea yang terbiasa melihat penampilan boyband pujaan mereka, tidak sulit untuk mengenali kemiripan antara boyband Korea tersebut dengan SM*SH. Senasib dengannya ialah dengan girlband 5 Bidadari, yang disebut-sebut sebagai peniru girlband asal Korea, Wonder Girls. Walaupun sempat menuai kritik di beberapa situs jejaring sosial, boyband dan girlband ini tetap melengang dengan single dan konsep yang telah mempopulerkan nama mereka tersebut.
SM*SH, boyband asal Indonesia
Girlband 5 Bidadari dengan single "Aku atau Dia"

Mengapa hal seperti ini sampai terjadi? Saya yakin, bangsa ini memiliki begitu banyak otak-otak kreatif yang mampu menghasilkan konsep yang orisinil dan tak kalah menarik dibanding ciptaan seniman-seniman asing tersebut. Buktinya, tak semua karya anak bangsa adalah hasil plagiat. Namun sungguh menyedihkan bahwa mencontek sepertinya sudah jadi budaya yang tak bisa dihilangkan dari dunia hiburan Indonesia. Produser-produser musik negeri ini tampaknya lebih suka mengambil konsep yang sudah "teruji" di pasaran dibanding harus bertaruh dengan bakat-bakat baru yang belum tentu disukai masyarakat.
Ada apa dengan produk seni negeri-negeri Barat atau Asia? Adakah kita sesungguhnya kehilangan penghargaan terhadap karya seni kita sendiri? Saya pernah mendengar perkataan, "Peniruan adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap suatu karya orang lain". Mungkinkah bangsa kita memang memberikan penghargaan yang terlalu berlebih terhadap karya-karya seni asing?
Bagi saya, peniruan sama dengan pembunuhan karakter. Salah satu bukti nyata adalah sistem pendidikan di Indonesia yang amat terpaku pada jawaban textbook, di mana banyak guru cenderung lebih menghargai kepandaian murid menghapal dibanding kemampuannya berkreasi. Seseorang pernah memberi analogi ini pada saya:
Guru: Apa kegunaan dari sapu lidi?
Murid: Bikin layang-layang, Bu!
Jika perbincangan di atas konteksnya di Indonesia, saya yakin jawaban anak tersebut akan disalahakan. Bagi sang Guru, yang benar hanyalah jawaban sapu lidi digunakan untuk menyapu halaman. Padahal bisa saja sepanjang pengetahuan si anak, lidi pada sapu lidi digunakan untuk membuat layang-layang. Bagaimana ide kreatif murid-murid dengan sistem pengajaran seperti ini dapat berkembang?
Sejalan dengan itu, adalah merugikan menurut saya untuk meniru hasil karya orang lain. Menganggap milik orang lain lebih baik daripada milik sendiri memang tak salah, sepanjang hal itu tidak membuat kita minder lantas meniru hasil karyanya. Mengapa harus meniru, kalau kita punya ide dan kreasi sendiri? Oleh karena itu, dalam hal ini bisnis musik dan hiburan Indonesia, seluruh pihak bertanggung jawab untuk mengembalikan orisinalitas karya anak bangsa. Sampai kapan kita harus terus "dijajah"? Tunjukkan bahwa karya kita tak kalah dari sekedar boyband Korea!

Oleh: Khara Gracia Maulina

Perkembangan Musik Indie

Perkembangan musik di Indonesia semakin berkembang pesat. Terutama band-band baru yang mencoba peruntungannya di aliran musik band indie.  Musik indie sebagai aliran atau genre musik itu “not even exist” ( tidak ada-red), karena yang disebut musik indie itu adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie. Jadi musik indie adalah istilah untuk membedakan antara musik yang dimainkan oleh musisi profesional dengan musisi amatir. Tapi yang pasti indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari apa yang kita punya, do it yourself, etika yang kita punya mulai dari merekam, mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Walaupun nantinya akan ada perbedaan lagi antara indie dengan D.I Y itu sendiri. Musik indie tumbuh secara natural di Indonesia dan tidak ada yang memungkiri kalau musik rock n’ roll di Amerika sendiri pun tumbuh secara natural walaupun pada awalnya ditentang oleh orang tua dan pemuka agama. Kalau di Indonesia sendiri adalah imbas karena kita mengidolakan band luar. Maka jika kita telusuri, hampir semua band Indonesia adalah epigon dari band-band luar. Mereka mengawali karir mereka dengan membawakan lagu-lagu dari band luar mulai dari Koes Plus, God Bless sampai band-band awal 90an masih sering membawakan lagu orang.
Sekarang disini kami akan membahas tentang perkembangan musik terutama band Indie di daerah Bekasi. Strive Record, merupakan salah satu perusahaan lokal yang berasal dari bekasi. Strive management membawahi 4 band. The Sabrinas Hardcore, Radio Bandit, Gloomy Little Angel, Marry Pumpkins. Awalnya Strive management berasal dari Strive clothing. Menurut manager dari Strive management, Ebi, menyatakan bahwa band-band indie yang mulai merambah di musik major dikarenakan komersialitas. Misalnya, Killing Me Inside yang bermula dari musik indie dan sekarng berpindah menjadi ke musik major. Berbeda dengan Superman Is Dead yang tetap mempertahankan kualitas musiknya, tetap pada ber genre rock.
The Sabrinas Hardcore, salah satu band indie yang berasal dari Bandung. Terbentuknya band The Sabrinas ini berawal dari keinginan Reza (guitar) dan Mike (drum) untuk membentuk sebuah band beg-genre metal. Dengan formasi awal Teguh (vocal), Reza (guitar), Arief (guitar), Roland (bass), dan Mike (drum) padapertengahan tahun 2008. Karena alasan kesibukan di bidang akademik, Arief dan Roland memutuskan untuk mengundurkan diri dari The Sabrinas.
Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat The Sabrinas untuk maju, sehingga diputuskan untuk mencari penggantinya. Kemudian Adra (Alexander of Macedonia) memutuskan untuk bergabung di band ini dan mengisi kekosongan di posisi bass, serta ridwan yang mengisi di posisi guitar. Dan akhirnya terbentuklah formasi tetap The Sabrinas yang solid hingga saat ini dan memutuskan untuk merubah konsep music kami menjadi "Newschool Hardcore".

 
Dalam urusan bermusik The Sabrinas banyak dipengaruhi oleh band-band Hardcore luar negeri seperti Hatebreed, Terror, Madball, Municipal Waste, Suicidal Tendencies, Sicl of It All, Have Heart, ISHC, Walls Of Jericho, Agnostic Front maupun band-band local seperti Outright, Under 18, Final Attack, Straight Answer, dan legenda-legenda musik yang dihormati. Saat ini The Sabrinas baru mengeluarkan satu single yang berjudul "We Still Fight".

 
Dalam hal penulisan lirik, The Sabrinas banyak terpengaruh oleh isu-isu politik, kemanusiaan, dan kehidupan social sehari-hari. The Sabrinas merasa tertantang untuk menyuarakan suara dan aspirasi rakyat yang terkucilkan oleh pemerintah dan birokrat-birokrat kotor yang menindas hak-hak dan keadilan masyarakat kecil dan lemah dalam musiknya.

Oleh : Intan Pravinta Andyani

Karinding, Musik Tradisional yang Terlupakan


          Salah satu alat musik tradisional khas tanah Parahyangan yang mulai terlupakan yaitu Karinding. Padahal alat musik ini cukup mudah dibuat, bahannya pun mudah didapatkan, yaitu dari pelepah kawung atau bambu.
Alat musik Karinding

          Karinding memiliki tiga bagian yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut cecet ucing, lalu pembatas jarum, dan bagian ujung yang disebut panenggeul atau pemukul.

          Untuk memainkan karinding juga cukup mudah, cukup ditempelkan ke mulut dan dipukul salah satu ujungnya menggunakan satu jari tangan.

          Mulut yang berperan sebagai tabung resonansi dan lidah yang berperan sebagai pengatur bunyi membuat banyak variasi suara yang dihasilkan alat musik ini.

         Salah satu seniman Bandung yang juga pemain karinding, Hendra mengatakan, karinding cocok digunakan dalam instrumen musik jazz karena alat ini menghasilkan bunyi yang bervariatif. “Sayang, karinding mulai dilupakan,” ucap Hendra. 

sumber: Hendra (08172332756)

Oleh: Destyananda Helen

Teeners Music Festival SMA 10 Padang, Kebanggaan yang Kembali Hadir

Padang--Teeners Music Festival VI yang menjadi icon kebanggaan SMA Negeri 10 Padang, Sumatera Barat kembali menghebohkan Padang dan Sumatera Barat pada Minggu (21/11) setelah acara ini sempat dibatalkan dan ditiadakan untuk satu periode karena gempa yang melanda kota yang terletak di pinggir pantai tersebut. Acara tahunan ini diadakan di Gor Haji Agus Salim Padang, dengan peserta perwakilan SMA-SMA di Sumatera Barat. Kali ini tema yang diangkat adalah Rock Your Heat for Indonesia.


Acara ini merupakan program kerja Organisasi Siswa Intra Sekolah SMA Negeri 10 Padang yang sudah menjadi tradisi dan sangat susah untuk dihilangkan. Kali ini yang memiliki program kerja sekaligus yang menjadi ketua panitianya adalah Rimby Soesilio yang menjabat sebagai Koordinator Sekbid 8 yaitu Bidang Apresiasi Seni dan Budaya. Dalam kepengurusan OSIS Rimby Soesilo dibawahi oleh Fefri Zahilatul yang berperan sebagai ketua OSIS.


                                                                         Foto : Dokumentasi Teeners



Festival Band tersebut mengeluarkan 3 juara atau band terbaik penilaian juri dan satu band favorit pilihan penonton dengan cara polling sms. Juara satu diraih oleh Claviora, grup band kebanggaan SMA negeri 3 Padang, juara dua diraih oleh Romusha yang berasal dari SMK 7 Padang, dan juara tiga diraih oleh SMA 1 Padang Panjang dengan grup band Paparazzi. SMA Negeri 10 yang menjadi tuan rumah harus puas dengan hanya meraih title band terfavorit dari band Ahimsa sekaligus vokalis terbaik yang juga berasal dari band tersebut, Abdi Fachruri.

Menurut Fefri sang ketua OSIS periode 2009-2010, acara yang berlangsung dari pukul 08.00 WIB hingga 21.30 WIB ini tergolong sukses dengan kedatangan penonton sekitar 1000 orang. Meski tak sempat dihadiri oleh sang kepala sekolah, Fefri tetap bangga dengan kesuksesan acaranya. “Pak Kepsek ga datang, sehingga ia tidak memberikan apresiasi pada kami, hanya saja bu Yensi Moritha sebagai Wakil Kepsek yang memberi apresiasi sebuah kepuasan kepada kami,”ujarnya. Acara tersebut juga dihebohkan dengan penampilan band-band ternama Sumatera Barat seperti 5Blitz dan Ghostbusters.

Oleh: Afif Permana Aztamurri

Tuesday, November 23, 2010

Teknologi Informasi Mempengaruhi Eksistensi Band Indie

MARCH BERGERILYA DENGAN MEDIA ONLINE


Teknologi yang semakin maju dari zaman ke zaman, baik berupa teknologi industri, tekstil, informasi, dan lain – lain, memiliki tujuan untuk mempermudah kegiatan manusia dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya. Tidak terkecuali salah satu band indie yang sedang naik daun, yakni band March. Band yang berdiri pada tanggal 19 Juni 2005 ini sering mengganti personel dan formasinya di dalam band. Mereka mengakui hal tersebut sering terjadi karena sering terjadi ketidakcocokan ketika bekerja sama membuat album, dan lain – lain. Namun, akhirnya mereka menemukan formasi dengan personel yang pas untuk membuat album berikutnya yang terdiri dari empat orang como, yakni Kemal Fady Alkatiri (Vocal), Arya ‘Lale’ Aditya Ramadhya (Guitar), Rachadian Ramadan (Guitar) dan Erixon Sihite (Drum).

Band yang memilih aliran musik Trash Metal ini telah meluncurkan album yang berjudul Polymath. Di dalam album ini terdapat 11 lagu. Dua lagu diantaranya adalah lagu instrumental dan sembilan lagu lainnya adalah lagu full band. Single yang kali ini menjadi andalan mereka adalah Teori Konspirasi dan Merasuki Akal. Kedua lagu ini sangat cepat membawa perhatian masyarakat pecinta musik metal karena alunan melodinya yang ditampilkan sangat memuaskan dan menarik.

Namun, band ini tidak menutupi kesulitannya ketika menghadapi pasaran musik negeri maupun dunia. Mereka mengatakan bahwa industri musik zaman sekarang terlalu stereotip. Jika dilihat dari tangga lagu yang sering diadakan oleh acara musik di media, rata – rata merupakan musik aliran pop, sedangkan musik aliran keras seperti metal yang dibawa oleh band March mengalami kesulitan untuk bersaing dengan band – band aliran tersebut.

Walaupun begitu, band March tidak menyerah begitu saja dalam melakukan persaingan di duni musik. Dengan teknologi informasi yang semakin maju dari zaman ke zaman, band March ini membawa lagu – lagu mereka agar dikenal oleh masyarakat luas. Teknologi yang menjadi andalan band – band dalam promosi adalah teknologi media, khususnya media on line. March membuat video clip Teori Konspirasi yang bisa kita download di myspace maupun di youtube. Selain itu, band indie March ini menggunakan social network yang sedang hangat digunakan masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri, yakni facebook sebagai tempat untuk mempromosikan album terbarunya, waktu dan tempat band tersebut akan manggung, dan lain – lain. Media elektronik seperti media televisi dan media radio juga dimanfaatkan band – band indie, termasuk band March untuk memperkenalkan band dan albumnya juga terhadap khalayak dengan menggunakan media yang berbeda. Dengan demikian, dalam masalah sulitnya mempromosikan album dan memperkenalkan band menjadi berkurang. Lagu – lagu yang diputar di media radio biasanya lebih mengundang pendengar untuk lebih mengenal band tersebut lebih dalam karena yang menjadi dasar untuk mengenal band itu adalah kualitas dari lagu yang dibawakan band tersebut.

Oleh : Selly Astari Octaviani

Emo & Screamo

Sejak beberapa tahun lalu, aliran musik yang biasa disebut emo dan screamo mulai berkembang di Indonesia khususnya wilayah Bandung, Semarang, Jakarta dan sebagainya. Namun aliran seperti apakah sebetulnya emo dan screamo itu?

Seperti aliran musik lainnya, aliran musik emo dan screomo juga terbentuk sengan banyak pengaruh dari budaya yang sedang berkembang di zamannya. Tidak hanya dalam hal budaya seperti teknologi dan style saja, tapi situasi dan kondisi sosial juga berpengaruh terhadap terbentuknya suatu aliran musik. Aliran musik emo bisa disebut sebagai salah satu anak dari musik punk, hanya saja si pembawa lagu lebih mencurahkan isi hatinya dalam membawakan musiknya. Misalkan dengan nada dan lirik yang puitis dilengkapi dengan teriakan-teriakan luapan emosi. Karena itulah banyak yang menyalahartikan aliran musi ini sebagai aliran musik yang cengeng. Dari hal ini pula banyak orang yang menyebutkan bahwa nama ‘emo’ sendiri diambil dari kata ‘emotional’. Tidak jauh berbeda dengan aliran musik emo, aliran musik scream juga merupakan anak dari aliran musik punk. Hanya saja lebih khusus pada hardcore punk. Oleh karena itu, aliran ini terlihat lebih agresif dari aliran musik emo. Namun bentuk emosi yang diluapkan masih mirip.

Memang sering kali orang-orang yang menggemari aliran musik seperti ini mendapatkan sebuah stereotip seperti julukan emo kids. Padahal aliran-aliran musik memiliki peluang besar untuk membuat sebuah pergerakan sosial dimana orang-orang dari kalangan yang berbeda saling berkumpul karena memiliki kesukaan yang sama terhadap musik. Namun hal ironis seperti ini terjadi dengan alasan yang wajar seperti karakter dan perilaku dari penganut aliran musik emo dan screamo biasanya kurang baik, apalagi dengan mode pakaian yang kurang diterima oleh budaya masyarakat sekitarnya.

Oleh: Fadil Muhammad

Musik Jepang di Kalangan Remaja Indonesia


 Shamisen, gitar khas Jepang

Jepang, merupakan negara yang pernah menjajah Indonesia tempo hari. Namun, jika dilihat akhir-akhir ini. Hubungan kedua negara (Indonesia-Jepang) sudah sangat membaik. Kerjasama yang dilakukan kedua negara terlihat sangat erat jika dilihat dari segala aspek. Bahkan, dalam bidang seni, musik Jepang mulai terdengar akrab di telinga orang Indonesia.

Akhir-akhir ini, sudah mulai banyak event Jepang yang diadakan di berbagai kota besar di Indonesia. Banyak anak muda yang membentuk sebuah band beraliran musik Jepang. Bahkan, band ternama Indonesia seperti J-Rocks mengusung aliran musik Jepang. Terkadang, kalau kita melihat di berbagai acara di televisi, musik latar yang dimainkan juga berasal dari negeri matahari terbit tersebut. Maka dari itu, sudah tidak aneh apabila kita sedang melihat teman-teman kita sedang bernyanyi dan mendengarkan lagu-lagu Jepang.

“Serangan” lagu Jepang mungkin bisa dibilang berawal dari soundtrack anime dan drama-drama yang pernah ditayangkan di televisi. Sebut saja seperti anime Digimon, Bleach, Naruto, One Piece, dan lain sebagainya. Sedangkan drama (dorama jika dalam bahasa Jepang) semacam one liter of tears dan drama lainnya juga bisa dibilang sebagai awal dari digemarinya lagu-lagu Jepang di kalangan remaja Indonesia. Setelah mengetahui lagu-lagu dari serial tersebut, maka orang-orang pun mulai menyukainya dan kemudian mencari tahu, siapa sebenarnya yang menyanyikan lagu-lagu favorit mereka itu. Kemudian mereka mencari lagu lain yang dibawakan oleh penyanyi atau band tersebut.

Namun, bukan berarti lagu Jepang yang kini tengah digemari sebagian remaja di Indonesia berawal dari soundtrack-soundtrack tersebut. Tidak sedikit juga orang yang memang sudah dari awal memang menyukai lagu-lagu Jepang. Mungkin, beberapa diantara mereka tidak sengaja nemu lagu Jepang yang menurut mereka bagus ketika sedang mencari lagu lain, ataupun alasan lainnya. Band-band yang (setahu saya) tidak mengisi soundtrack anime adalah dir~en~grey, The GazettE, Alice9, Antique Café, One OK Rock, Ellegarden, dan lain sebagainya. Namun, apabila kita datang ke matsuri atau event Jepang yang diadakan di Indonesia, tidak sedikit juga penggemar band-band tersebut.

Sebenarnya, musik Jepang juga memiliki aliran-aliran sama seperti musik pada umumnya. Hanya saja, terkadang musik Jepang memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh musik dari negara lain. Pada beberapa band, lagu-lagu yang dibawakan diberikan sentuhan oriental khas Jepang. Seperti pada lagu Omoide dari band Psycho le Cemu. Ada juga band yang memberikan sentuhan Shamisen (gitar khas Jepang). Dan percaya atau tidak, lagu-lagu semacam itu pun digemari juga oleh remaja Indonesia.

oleh : Muhamad Iko Dwipa Gautama 

sumber gambar : http://3.bp.blogspot.com/_MUU7s2JemoQ/TMwQQJcq5QI/AAAAAAAAACI/xKAMxm09SOM/s1600/Tsu_kouki_sm.jpg

Idealisme Band Indie Yang Pudar

Ketika Killing Me Inside Merangkak Naik


          Rabu (22/9) lalu, Killing Me Inside mengeluarkan album barunya Selftittled. Album barunya kini sudah dua bulan beredar di pasaran dan cukup banyak menarik perhatian fansnya, Killms Street Team. Namun, dalam album baru tersebut nuansa screamonya sedikit menghilang dan aliran musiknya lebih ke jalur rock, meski masih ada scream di beberapa lagunya. Dalam album baru tersebut, ada 12 lagu, dimana terdapat 4 lagu baru, dua lagu baru yang dimainkan acoustic, dan 6 lagu lama yang di remake ulang. Tentu saja ketika mereka mengeluarkan album baru ini dan mereka melakukan remake terhadap beberapa lagu lamanya, mereka siap akan menerima kritik dari para fansnya yang mungkin tidak suka dengan album mereka yang baru, yang tentu saja sudah berada di bawah naungan major label. “Kita sih udah siap kalau misalnya nanti banyak yang kontra sama kita” ujar Josaphat ketika sedang menghadiri ngabuburit bareng pemenang kuis Hai dan Killing Me Inside di Pro Arena Pondok Indah Jum’at (17/9) lalu. 
          Sekarang, dua bulan sudah album tersebut terjual dan sudah mulai terlihat banyak sekali para fans atau penggemar yang kontra dengan Killing Me Inside. Hal tersebut terlihat sekali di Facebook milik Killing Me Inside. Banyak fans atau penggemar, dan bahkan ada beberapa pengamat musik yang masih muda yang mengkritik lagu-lagu Killing Me Inside di album terbarunya. Mungkin hal tersebut sudah diketahui oleh Onadio, Josaphat dan Davi ketika mereka melaunching album mereka ini. Memang semua lagunya lebih enak didengar dan bagi orang awam yang baru mengetahui band yang sudah berumur lebih dari tiga tahun ini akan menyukai terobosan dari band ini, yang sudah berada dibawah naungan major label. Ya, major label adalah salah satu alasan banyaknya orang-orang yang dulu menyukai Killing Me Inside malah mengkritiknya karena mereka mungkin ingin terkenal. Mungkin saja menyusul para teman-temannya yang telah terkenal duluan sejak masih berada di indie label, yaitu Pee Wee Gaskins. Killing Me Inside sendiri saat ini memiliki sponsor yaitu, Telkom Speedy. “Kebetulan kan kita waktu itu launching album terus kita barter provider sama Telkom tepatnya” Ujar Triwardoyo Manager Killing Me Inside setelah manggung di acara Telkom Speedy Tour 2010. 
          Kedepannya mungkin band ini akan kehilangan screamnya. Menurut Josaphat dan Onad, yang akan muncul akan lebih ­ngerock dan kalau mau mendengarkan yang ada screamnya mereka upload di Myspace.com agar lebih mudah dinikmati oleh para penggemarnya. “Kita semakin lama kebetulan semakin meningkat ya karirnya, jadi ya untung aja kita bisa seperti ini” Ujar Josaphat. Mereka kebetulan sudah memiliki video clip terbaru dari album baru mereka, yaitu Biarlah yang merupakan single dari album mereka ini. Memang menarik sekali video clipnya dan bagus untuk dinikmati. Namun, jika kita melihatnya di Youtube.com, kita akan menemukan banyaknya orang yang pro-kontra dengan hadirnya Killing Me Inside di televisi. Yang menurut para fans dan para orang-orang yang menikmati musik-musik underground dan indie, setiap band indie yang masuk di bawah major label akan kehilangan idealismenya untuk tetap berada di genre yang sudah mereka jalani sejak band mereka sendiri berdiri. Hal itu terlihat ketika video clip Killing Me Inside, Biarlah menjajaki televisi, dan juga bisa di download di Youtube.com, banyak sekali yang mengomentari tentang hilangnya idealisme dari Killing Me Inside untuk tetap berada di jalurnya yang lama. Lalu banyak juga yang mendukung untuk terus berkembang di belantika musik Indonesia. Menurut Killing Me Inside sendiri, mereka sekarang terus berkembang karena mereka menuju dunia yang lebih dewasa dan lebih kreatif di industri musik Indonesia saat ini.
          Killing Me Inside sendiri sekarang masih melakukan tour untuk promosi albumnya diberbagai daerah di Indonesia.Bisa dilihat di Myspace dan Facebook official mereka. Namun, selama itu pula mereka akan terus menemukan orang-orang yang mungkin nantinya akan membenci mereka dan muncul gerakan anti-Killms. “Kita nggak takut kok kalo muncul gerakan ato fans yang buat seperti anti-Killms misalnya, ato seperti APWG, nantinya kalau album baru kita ini gak sengerock dulu. Tapi kita tetep bakal seperti dulu kalau manggung” ujar Onad. Memang faktanya banyak band indie di Indonesia yang berawal dari music-musik underground ini ketika masuk ke major label hilang idealismenya, tetapi bila dilihat dari segi usia para anggota bandnya sendiri pasti akan muncul perubahan psikologis ketika band yang mereka gawangi terus meningkat prestasi dan aksi kreatifnya di Indonesia. Seharusnya hal tersebut merupakan dorongan kepada band-band dan musisi-musisi Indonesia yang major label untuk dapat mengembangkan music Indonesia dari berbagai aliran atau genre musik yang berbeda-beda.

Oleh : Satria Perdana
         

         

Mencintai Musik Tradisional Khas Indonesia :

Jangan Mau Kebudayaan Kita Terhimpit Arus Modernisasi


Sadarkah Anda bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang besar akan seni dan budayanya? Sadarkah Anda bahwa musik khas atau musik tradisional Indonesia itu juga tak kalah indah dengan musik modern? Atau, tahukah Anda bahwa Indonesia memiliki sumber daya musik yang sangat mengagumkan sejak zaman dahulu kala?

Alangkah baiknya jika pertanyaan di atas dapat menyadarkan kita semua bahwa Indonesia juga punya identitas musik aslinya. Indonesia juga memiliki banyak kebanggaan dari apa yang dimilikinya, dan salah satunya adalah musik. Kemudian, mungkin jauh lebih baik jika kita memahami dan menguasai alat musik serta permainan musik khas bangsa sendiri daripada mempelajari musik modern yang berasal dari negara asing. Ya, saat ini tak banyak orang yang memiliki pemikiran seperti itu. Paradigma yang berlaku pada manusia khususnya remaja yang identik dengan perkembangan musik adalah berkembangnya musik modern di dunia mereka, hingga mereka harus mempelajari dan menguasai musik yang mereka kagumi tersebut. Entah apa yang terjadi, mereka memiliki hasrat yang tinggi kepada bawaan budaya asing tersebut, tanpa pernah menghiraukan musik tradisionalnya. Contoh nyatanya, seorang anak yang beranjak dewasa di Indonesia saat ini cenderung mempelajari gitar yang konon katanya berasal dari Afrika dan berkembang di Eropa bukan berusaha mengenali musik tradisional. Itu merupakan sebuah bukti bahwa musik tradisional sudah tidak lagi mendarah daging pada orang asli Indonesia sendiri.

Coba kita kaji salah satu musik tradisional khas Indonesia yang berasal dari daerah Sumatera Barat, atau dari suku bangsa Minangkabau. Minangkabau memiliki berbagai macam seni dan budaya khasnya, seperti tari, musik, randai, dan lain-lain. Musik yang dimiliki Minangkabau juga beragam ritmenya mulai dari musik lembut kemayu yang menyejukkan, musik yang menyedihkan, hingga musik yang sangat memacu adrenalin pendengarnya. Semua ritme tersebut dipengaruhi oleh alat-alat musik yang dimainkan. Apabila seorang pemusik tradisional Minangkabau memainkan saluang, yaitu sebuah alat musik tiup yang terbuat dari ruas bambu yang tebal memiliki panjang sekitar setengah meter, dengan 4 lobang yang harus dimainkan dengan dua jari dari masing-masing tangan, maka akan terdengarlah musik yang mengalun merdu, lembut, bisa berkesan indah, bisa juga berkesan menyedihkan bahkan mengerikan. Begitu juga bansi, juga alat musik tiup dengan kurang lebih 10 lobang, hampir sama memainkannya dengan alat musik recorder, dapat mengayunkan suasana menjadi lembut, tentram dan damai.

Tak hanya itu, adrenalin pendengar juga bisa terpacu apabila talempong, pupuik, gandang, canang, tambua, dan tansa dipadukan dalam sebuah kesatuan kelompok musik dan dimainkan bersamaan. Talempong adalah sebuah alat musik yang berbentuk gamelan jawa, ukurannya lebih kecil, dimainkan dengan pukulan namun memiliki nada layaknya nada piano dari Do hingga Si. Pada suatu organisasi kebudaayan Minangkabau tempat saya mengaktualisasikan diri di Universitas Padjadajaran, yaitu Unit Pencinta Budaya Minangkabau (UPBM) dan juga organisasi kebudayaan Minangkabau di perguruan tinggi lainnya, seperti Unit Kesenian Minangkabau Institut Teknologi Bandung, serta yang lainnya, talempong dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu bagian melodi yang menjadi nada utama dalam sebuah lagu, di samping bansi dan pupuik dan bagian ritm (rhytme) yang menjadi pengiring musik keseluruhan. Kemudian terdapat canang yang ukurannya lebih lebar daripada talempong, dengan bunyi yang nge-bass, dan fungsinya juga sama seperrti gitar bass pada sebuha grup band. Yang terakhir adalah alat musik pukul, yaitu gandang, yaitu alat musik pukul yang terbuat dari gelondong kayu yang kedua belah sisi bolongnya ditutupi oleh kulit sapi, sehingga bunyinya bisa berfrekuensi rendah dan berfrekuensi menengah. Tambua juga alat musik pukul yang memiliki frekuensi bunyi rendah, sehingga bunyinya nge-bass dan Tansa memiliki frekuensi bunyi menengah hingga tinggi sehingga bunyinya lebih lantang.

Semua alat musik tersebut dimainkan layaknya memainkan alat musik di sebuah grup band. Talempong melodi layaknya gitar melodi; talempong ritm sebagai gitar ritm; canang sabagai bass; gandang, tambua, dan tansa yang digabungkan menjadi rangkaian satu set drum. Semua alat musik tersebut bisa dimainkan layaknya sebuah grup band yang saat ini dominan disukai oleh kawula muda. Semua kesatuan alat musik tersebut dapat memainkan berbagai lagu yang bersemangat yang memacu adrenalin pendengar dan digunakan untuk mengiringi tarian Minangkabau yang kebanyakan bersesensi keceriaan.

Jadi, tidak sepantasnya musik tradisional khas Indonesia itu dipandang sebagai musik yang kuno dan dinilai terbelakang. Warga Indonesia yang hidup di zaman modern saat ini banyak yang tidak mengenali budaya dan seni tradisionalnya sendiri akibat terhimpit arus budaya dari luar negeri. Jika kita bandingkan dengan orang Eropa, mereka masih mencintai alat musik tradisional mereka. Sebaliknya kita, boro-boro memeliharanya, mengenalnya saja mungkin enggan dan gengsi, dan hal inilah yang menyebabkan banyak budaya khas Indonesia banyak dicuri oleh bangsa asing, seperti negeara tetangga. Sudah saatnya kita sadar akan kepemilikan dan kebanggaan seni dan budaya kita sendiri. 

Oleh : Afif Permana Aztamurri